Friday, December 23, 2011

Antara Business Plan atau Business Model

Sejak awal saya diajarkan jika memulai sesuatu yang besar untuk selalu memikirkan dan membuat rencana matang. Apalagi kalau sesuatu itu berupa memulai suatu usaha! Yikes!

Dalam memulai suatu usaha baru, terutama untuk yang kononnya aneh dan inovatif (seperti teknoprenur), pendapat umum dikalangan pebisnis adalah untuk membuat rencana dalam bentuk suatu business plan yang benar-benar matang! Dimana suatu business plan, paling minimal, akan berisi:
  1. Penjelasan tetang produk/jasa yang akan ditawarkan;
  2. Siapa yang bakal membelinya dan kenapa para pelanggan ini akan membelinya;
  3. Perkiraan besarnya pasar untuk produk/jasa tersebut;
  4. Perkiraan pendapatan, biaya, dan cash flow usaha baru tersebut untuk paling tidak tiga tahun!
Dalam membuat business plan ini, asumsinya adalah si pengusaha akan dengan bersusah payah mencari data yang diperlukan, menghitung, menganalisa, dan menuliskan business plan-nya sehingga bisa menjadi cerminan kelayakan usaha tersebut disamping juga sebagai peta dalam memulai/menjalankan usaha baru tersebut!

Tetapi dalam tiga atau empat tahun belakangan ini telah muncul pemikiran-pemikiran baru yang beranggapan bahwa, untuk teknoprenur, penekanan yang terlalu besar pada pembuatan business plan merupakan kesalahan besar dimana keluaran yang bakal dihasilkan akan berupa suatu karya fiksi! Menariknya lagi, pemikiran-pemikiran ini dimotori oleh para investor, pendiri, dan  pemikir handal di Silicon Valley yang telah banyak bergelut dalam membangun usaha-usaha demikian disana, seperti Steven Blank dan Nathan Furr!

Menurut pemikiran-pemikiran baru ini, fokus yang kelewat besar terhadap business plan tidak cocok bagi teknoprenur yang produknya masih baru dengan pelanggan yang belum jelas tetapi fokus ini lebih cocok untuk perusahaan-perusahaan mapan yang sudah memiliki produk nyata dan pelanggan yang jelas. Pertimbangan utamanya adalah, bagi perusahaan mapan mereka:
  1. Sudah memiliki pelanggan yang benar-benar mereka fahami perilaku, masalah dan kebutuhannya;
  2. Sudah memiliki produk/jasa yang berhasil menjawab masalah dan dapat berguna bagi para pelanggannya;
  3. Sudah memiliki sumber daya (alias SDM) untuk benar-benar memikirkan dan mematangkan kelayakan suatu business plan (terutama aspek finansialnya).
Sedangkan seseorang seperti saya yang baru bermodalkan ide tentunya:
  1. Belum memiliki seorang pelangganpun apalagi memahami perilaku dan kebutuhan mereka. Yang ada hanya calon pelanggan dan asumsi saya tentang prilaku, masalah, dan kebutuhan calon pelanggan tersebut!
  2. Belum memiliki produk/jasa yang jelas-jelas bisa menjawab masalah dan bakal berguna bagi para calon pelanggan saya. Yang ada hanya asumsi saya akan masalah yang mereka hadapi dan perkiraan saya bagaimana  inovasi saya dapat menyelesaikan masalah mereka!
  3. Belum memiliki sumber daya untuk bisa melakukan yang macam-macam apalagi pengalaman dalam memulai suatu usaha dalam sektor teknologi! Bekerja di sektor IT jelas sudah berpengalaman tetapi menjalankan/mendirikan suatu perusahaan teknoprenur belum pernah!
Oleh karenanya, dalam kondisi demikian, fokus yang berlebihan ke business plan (duduk berlama-lama di ruangan ber-AC, sibuk mengetik di komputer, browsing internet untuk mencari data, dan menghasilkan suatu business plan sempurna) akan sia-sia dan bakal menghasilkan suatu karya fiksi! Yang lebih tepat untuk dilakukan dalam kondisi demikian  adalah untuk turun ke lapangan dan buktikan bahwa inovasi baru itu bakal ada pasarnya atau temukan dimana pasar yang cocok untuk inovasi tersebut! Kalau teknologinya, produknya, atau jasanya kemungkinan besar bisa dibuat tetapi masalah yang lebih penting untuk kelangsungan usaha itu adalah apakah setelah dibuat bakal ada yang mau membelinya atau membayar untuk memakainya?! Oleh karenanya, energi dan pemikiran si teknoprenur lebih baik dihabiskan untuk mencari pasar itu atau membuktikan bahwa pasar itu ada dan pasarnya cukup besar untuk menghidupkan usaha tersebut nantinya!

Nah, karena kita masih bermodalkan asumsi maka dalam meneliti pasar yang dituju si teknoprenur itu tidak bisa mengandalkan studi literatur, mencari data sekunder, dll (seperti halnya dalam membuat business plan normal) karena ini baru bisa kita lakukan kalau kita sudah yakin akan kebenaran asumsi-asumsi kita sehingga tahu data apa yang kita butuhkan. Tetapi karena semua masih asumsi, kita belum tahu apapun, dan semua masih perkiraan kita yang belum terbukti! Business plan yang bermodalkan asumsi yang belum terbukit ini akan berujung dengan kegagalan, dan menurut mereka mayoritas usaha teknoprenur gagal gara-gara ini: kelewat yakin dengan asumsi yang belum terbukti!

Oleh karena itu yang harus dilakukan adalah bukan fokus untuk membuat business plan tetapi sebanyak mungkin turun ke lapangan, masuk pasar yang dituju, mencari para calon pelanggan, berbicara dengan mereka, cari tahu apa masalah mereka, dan melihat apa benar inovasi kita bakal berguna, apa benar asumsi masalah yang kita perkirakan sudah betul, serta apa benar inovasi kita bisa menyelesaikan masalah tersebut! Untuk hal ini, langkah-langkah yang disarankan oleh para pakar ini, secara kasar, adalah sbb:
  1. Membuat rancangan awal business model dari usaha baru tersebut. Business model ini akan berisikan semua hipotesa-hipotesa/asumsi-asumi tentang calon pelanggan, masalah yang mereka hadapi, jawaban yang kita tawarkan, inovasi kita, dll. 
  2. Validasi business model. Kesemua hipotesa/asumsi dalam business model harus diuji kebenarannya dan kegiatan terpenting si teknoprenur sekarang adalah menguji hipotesa-hipotesa/asumsi-asumsi tersebut dan belajar darinya!
  3. Pemahaman baru dari proses pembelajaran ini kemudian dipakai untuk memperbaiki business model yang ada dan jika perlu untuk mengubah haluan usahanya (dalam istilah mereka pivot)!
  4. Kembali ke poin pertama dan ulangi lagi proses ini sebanyak mungkin serta secepat mungkin!
Bagi yang akrab dengan dunia IT, proses ini sangat mirip dengan proses Agile Software Development! Dimana proses Agile sangat alergi dengan usaha-usaha untuk merancang secara keseluruhan suatu aplikasi/sistem dari awal (= membuat business plan sempurna di awal) tetapi mengambil pendekat untuk melakukan proses perancangan dan pengembangan secara bertahap dalam iterasi-iterasi kecil (= langkah-langkah membuat/validsasi business model diatas)!

Nah karena saya sangat akrab dengan proses Agile, dan telah melihat keampuhannya, maka ada dasar bagi saya untuk meyakinkan kebenaran dari pendekatan baru ini sehingga kayaknya tidak ada salahnya untuk diadopsi dan dicoba! Kan namanya aja belajar jadi Teknoprenur! :)

Tetapi sekarang apa sih Business Model itu?! Itu di posting berikutnya! :)

Referensi

  1. Blog Steven Blank: http://steveblank.com/.
  2. Buku Stevan Blank: The Four Steps to the Epiphany
  3. Blog Nathan Furr: http://nathanfurr.com/.
  4. Buku Nathan Furr & Paul Ahlstrom: Nail It then Scale It.

Monday, December 19, 2011

Belajar menjadi teknoprenur

Akhirnya saya putuskan untuk secara serius mengikuti panggilan jiwa saya dan memulai suatu usaha yang berbasis IT; istilah kerennya di Indonesia sekarang teknoprenur (Technology + Entrepreneur = Technopreneur). Kenapa memulai suatu usaha? Karena saya mempunyai suatu ide yang sepertinya lumayan bagus dan bakal berguna bagi banyak orang. Kenapa usaha IT? Karena itu keahlian saya dan bidang yang saya paling sukai.

Dalam menjalankan keputusan ini, rencananya saya tidak akan terjun bebas mendirikan/menjalankan usaha ini melainkan akan menjalankannya secara part-time sembari bekerja dan menyelesaikan studi saya. Kenapa? Karena saya tidak berencana mencari dana dari investor atau VC karena kegiatan ini menurut saya kelewat melelahkan, memakan banyak energi, dan  bakal menyita banyak waktu yang lebih baik dipergunakan untuk merealisasikan ide/membangun usaha saya. IMO, jika ide saya bagus dan sukses maka dana akan datang dengan sendirinya. Disamping itu sekarang sudah banyak tersedia jasa-jasa di Internet yang memungkinan seseorang untuk membangun suatu usaha IT tanpa modal or bermodal pas-pasan yang nantinya, kalau memang sukses, kapasitasnya bisa dengan mudah diskalakan sesuai dengan kebutuhan, dan dompet tentunya. :)

Blog ini akan mendokumentasikan perjalanan saya ini agar siapa tahu nantinya bisa menjadi pelajaran yang bisa diambil dan untuk menhindari kesalahan-kesalahan yang akan saya buat!

Jika para pembaca tertarik untuk mengikuti dan belajar bersama saya, silahkan ikuti terus blog ini. :)